MEDAN – Undang-undang tentang Perlindungan dan Pelestarian Adat Budaya Kerajaan Nusantara, diharapkan tidak hanya menjadi terapan seremonial semata. Namun juga sebagai jawaban terhadap berbagai tantangan pelestarian budaya dan kearifan lokal di Indonesia. Khususnya di tengah pesatnya perkembangan teknologi saat ini.
Hal itu terungkap dalam Forum Group Discusion (FGD) yang digagas anggota
Komite 3 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPD) Republik Indonesia (RI), Dr H Dedi Iskandar Batubara SSos SH MS, di aula Kantor DPD RI Sumatera Utara (Sumut), Jalan Gajah Mada, Medan Baru, Kota Medan, Selasa (28/2/2023).
Diketahui, DPD RI telah mengusulkan Rancangan Undang-undang tentang Perlindungan dan Pelestarian Adat Budaya Kerajaan Nusantara (RUU PPBAKN), dan terus digodok saat ini.
Untuk menyempurnakan rancangan undang-undang ini, anggota DPD RI pun menjemput langsung berbagai masukan dan aspirasi masyarakat di daerah.
Turut menjadi narasumber pada acara FGD tersebut, penggiat budaya Mukhlis Win Ariyoga dan perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut Sylvia RA Lubis dan pengurus PB MABMI yang diwakili M Badlun Alkhaidi.
“RUU ini merupakan gagasan DPD RI, untuk melestarikan nilai-nilai hidup dari kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara,” kata Dedi Iskandar Batubara.
Dedi mengungkapkan, dengan adanya payung hukum melalui UU, akar-akar budaya kerajaan-kerajaan di Nusantara akan semakin kokoh.
“Untuk itu, kita meminta masukan-masukan dari pemangku kebijakan dan tokoh-tokoh budaya agar RUU ini disusun sesuai dengan harapan bersama,” ujar Dedi Iskandar.
Sementara itu, Badlun Alkhaidi berharap RUU PPBAKN dapat disusun secara komprehensif, dengan memperhatikan ketersediaan sarana maupun prasarana.
“RUU ini sebaiknya disusun secara komprehensif baik sarana dan prasarana juga jangan dilupakan. Jadi komponen RUU jangan cagar budaya saja,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Badlun Alkhaidi, RUU PPBAKN ini sebaiknya tidak terlepas dari pendidikan. Dan berharap 20 persen untuk muatan lokal khususnya budaya harus dimasukkan.
“Kita melihat kondisi anak-anak yang tidak mengenal lagi adat istiadat. Kita berharap muatan lokal harus memasukkan mata pelajaran muatan lokal tentang budaya,” tegasnya.
Budaya dan adat istiadat perlahan ditinggalkan. Tentu, katanya, menjadi perhatian serius untuk generasi mendatang.
“Budaya Melayu lebih identik dengan nilai-nilai Islam, bahasa Melayu sebagai pengantar bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Dan istiadat Melayu di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Perannya sangat besar untuk kelestarian, namun sumbangsih pemerintah belum mencukupi untuk melestarikan budaya Melayu,” kata dia.
Hal senada juga diutarakan Penggiat Budaya Mukhlis Win Ariyoga. Dia mengapresiasi kegiatan ini untuk penguatan nilai-nilai kebudayaan.
“Kita selalu berdiskusi dengan masyarakat adat. Mereka tidak punya tempat untuk mengapresiasikan adat mereka sehingga tata nilai dari ayah ke anak cucu tidak ada. Bagaimana mengekspresikan kalau sarana dan prasarana tidak mendukung untuk keberlangsungan adat,” jelasnya.
“Mengembalikan kerajaan secara fisik tentu sah-sah saja. Tapi kita membayangkan untuk kelestarian. Apalagi moralitas kita sudah jauh dari adat istiadat. Pendidikan budaya seperti gotong royong sudah mulai luntur,” ungkapnya.
Sementara perwakilan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumut Sylvia RA Lubis menjelaskan, Pemprovsu terus berperan dalam menjaga dan melindungi kelestarian adat budaya.
Pemprovsu juga mengajak pemkab/pemko agar menyusun pokok pikiran untuk ditindaklanjuti menjadi rencana induk kebudayaan.
“Bulan Maret kita akan mengadakan forum kesultanan dan forum itu kita akan menampung aspirasi kesultanan untuk upaya pelestarian budaya,” tuturnya.
Mengenai berapa besar anggaran untuk pelestarian budaya, Silvia menyebutkan tergantung dengan kebutuhan. Namun pihaknya kerap melibatkan masyarakat untuk pelestarian budaya. (Do/Red)