Satuhati.co, Medan – Walikota Medan nonaktif Dzulmi Eldin melalui penasihat hukumnya, Junaidi Matondang SH MH mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) Sumut atas vonis 6 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Medan.
Pengajuan banding itu telah dilakukan pada Rabu 17 Juni 2020, namun belum dapat dipastikan kapan memori banding diserahkan, karena terkendala disebabkan belum keluarnya salinan putusan dari PN Medan.
“Benar kami telah mengajukan banding terhadap putusan PN Medan tersebut Rabu semalam, akan tetapi kami belum dapat memastikan kapan kami akan menyerahkan memori banding yang menjadi alasan hukum kami dalam mengajukan banding tersebut, karena sampai Kamis (18/6/2020) sore, PN Medan masih belum juga dapat memberikan salinan putusan atas nama terdakwa Dzulmi Eldin tersebut,” ungkap Junaidi Matondang.
Lanjut Junaidi, padahal undang-undang yaitu Pasal 196 ayat 3 huruf b KUHAP, memberikan stressing agar majelis hakim yang memutus perkara tersebut sesegera mungkin memberikan salinan putusan agar dapat secepatnya dipelajari oleh terdakwa dan penasihat hukumnya guna kepentingan untuk menentukan sikap apakah terdakwa menerima atau menolak putusan tersebut.
“Kami selaku Penasihat Hukum sangatt prihatin dengan sikap Majelis Hakim yang hingga batas waktu pengajuan banding masih saja mengabaikan hak terdakwa dan penasihat hukum utk mendapatkan salinan putusan. Tentunya Majelis Hakim tersebut sudah pasti mengerti bahwa mendapatkan salinan putusan dalam waktu segera adalah merupakan hak seorang terdakwa dan sebaliknya merupakan kewajiban Majelis Hakim,” terang Junaidi Matondang.
Menurut Junaidi, dengan adanya salinan putusan maka terdakwa dan penasihat hukum busa mempunyai waktu yang relarif cukup untuk mempelajari putusan, sehingga dapat mempertimbangkan secara cermat dan matang serta tidak spekulatif dalam menentukan sikap apakah menerima putusan tersebut atau mengajukan banding.
Dengan tidak dipenuhinya hak terdakwa untuk segera mendapatkan salinan putusan, menurut Junaidi sama artinya bahwa Majelis Hakim telah melanggar undang-undang dan mengebiri hak terdakwa secara sewenang-wenang. Jika alasannya karena masih diperlukan koreksi atas putusannya, lantas mengapa tidak ditunda saja pembacaan putusan tersebut hingga putusan benar sudah final untuk dibacakan.
“Semoga perilaku Majelis Hakim tersebut mendapat perhatian serius dari Pengadilan Tinggi selaku voorpost (perpanjangan tangan) Mahkamah Agung RI agar benar-benar menjalankan undang-undang dan bukan malah mengingkari amanat undang-undang secara sewenang-wenang. Keprihatinan kami atas perilaku Majelis Hakim ini bukan keluhan terdakwa tetapi adalah kritik kami selaku bagian dari catur wangsa dalam menjaga Pengadilan dari Hakim-hakim yang unprofesional conduct atau tidak berkualitas, khususnya Hakim Pengadilan Negeri Medan,” pungkas Junaidi Matondang. (*/mtc/lim)