MEDAN– Saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI) bervariasi dari sektor usaha dan jumlah sahamnya cukup banyak.
Hingga pertengahan 2024 ada lebih dari 920 saham yang bisa diperdagangkan. Sementara kebanyakan investor, hanya memiliki sekitar 20 saham dalam portofolionya.
Kepala Perwakilan Bursa Efek Indonesia (BEI) Provinsi Sumatera Utara M Pintor Nasution menuturkan cara memilih saham yang sesuai dari jumlah saham yang ada.
“Sebelum memilih saham, ada baiknya seorang investor mengetahui profil risiko masing-masing. Salah satu caranya yaitu dengan mengisi kuesioner profil risiko yang biasanya disediakan perusahaan sekuritas,” kata Pintor Nasution, Sabtu (20/7/2024).
Selain itu, bisa juga dengan menjawab pertanyaan yang ada di beberapa laman online. Hasil jawaban akan menyimpulkan tiga tipe atau karakter investor, yaitu agresif, moderat, dan konservatif.
Dijelaskannya, jika tipe agresif artinya investor ini mampu menerima risiko yang besar untuk mendapatkan potensi keuntungan yang besar pula.
Sementara tipe konservatif berlawanan, yaitu tidak mau menerima risiko yang besar, dan bersedia menerima keuntungan yang minimal, asalkan tidak memiliki risiko kerugian yang bisa menghabiskan modal.
Tipe ketiga, kata Pintor, si moderat yang berada di tengah-tengah antara agresif dan konservatif.
“Jika sudah mendapatkan informasi tersebut, baru Anda dapat memilih saham yang tercatat di pasar sekunder atau di papan perdagangan BEI. Ada kelompok saham yang dijuluki saham-saham blue chips,” ujarnya..
Saham-saham tersebut masuk ke dalam daftar saham indeks LQ45. Indeks saham dibuat untuk mengukur pergerakan harga saham.
Sesuai namanya, ada 45 saham yang terdaftar di dalam indeks ini, yang terdiri atas saham-saham blue chips atau yang memiliki kapitalisasi pasar besar, dan dikenal sebagai perusahaan-perusahaan besar.
Ciri-ciri lain dari saham blue chips adalah harga saham yang relatif mahal dan kenaikan harga saham yang juga stabil, tidak terlalu besar, karena perusahaannya sudah stabil. Saham blue chips cocok untuk investor konservatif dan moderat.
Kelemahannya, jika modal terbatas, investor belum tentu bisa membeli saham dalam jumlah banyak karena harga saham sudah mahal.
Ciri lain dari perusahaan yang memiliki saham blue chips, yaitu sudah memiliki brand yang kuat dan berdiri lama serta secara keuangan perusahaan pun sudah mapan dan stabil.
Umumnya perusahaan blue chips membagikan dividen atau keuntungan perusahaan setiap tahun kepada investor.
*Jadi, walaupun volatilitas harga saham rendah, investor masih memiliki potensi keuntungan lain berupa dividen,” ujarnya.
Lima saham blue chips yang masuk dalam perhitungan indeks saham LQ45 antara lain, Bank Central Asia Tbk (BBCA), Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM), Astra Internasional Indonesia Tbk (AASI), dan Bank Mandiri Tbk (BMRI).
Indeks LQ45 juga terdiri dari saham-saham lain dari perusahaan besar yang sudah teruji kinerja keuangannya selama beberapa dekade.
Namun, investor agresif tentunya mengharapkan keuntungan yang jauh lebih tinggi dari kenaikan harga saham-saham blue chips.
Masih dikatakannya, ada kelompok saham yang dikategorikan saham second layer, yaitu saham-saham dari perusahaan menengah atau perusahaan besar tetapi yang berdiri belum terlalu lama.
Saham-saham yang berasal dari perusahaan yang sedang bertumbuh diyakini memiliki potensi yang dapat berkembang besar di masa depan.
Saham-saham second layer memiliki ciri-ciri kapitalisasi pasar yang nilainya menengah. Kapitalisasi pasar adalah perkalian antara harga saham dan jumlah saham yang tercatat di BEI.
Pintor menyebut harga sahamnya tidak setinggi saham blue chips, dan volatilitas saham lebih cepat.
BEI memiliki indeks saham IDX SMC Composite yang berisi saham-saham dengan kapitalisasi pasar antara Rp1 triliun sampai Rp50 triliun.
Lalu dibuat juga indeks saham di kelompok menengah yang likuid atau aktif diperdagangkan, dengan nama IDX SMC Liquid.
Investor yang tertarik berinvestasi di saham second layer yang memiliki potensi keuntungan lebih besar dengan potensi risiko lebih tinggi pula, bisa memilih saham-saham yang ada dalam daftar indeks IDX SMC.
“Mengapa ada potensi kerugian pada perusahaan menengah? Karena perusahaan yang sedang bertumbuh mungkin saja memiliki proyek-proyek atau tengah mengembangkan produk-produk yang masih dalam proses tender atau uji coba.
Dijelaskannya, jika ekspansi usaha yang direncanakan berjalan lancar sesuai proyeksi keuntungan, sudah pasti harga saham di masa depan ikut naik.
Sebaliknya, jika ada proyek-proyek yang tidak sesuai perkiraan, dan produk yang mungkin tidak terlalu antusias diterima pasar, maka bisa membuat harga saham ikut turun.
Perusahaan menengah ini, meski sama-sama bisa menghasilkan laba, namun belum tentu membayar dividen.
Ini terjadi jika Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) menyetujui penggunaan laba untuk ekspansi usaha atau kebutuhan pengembangan perusahaan lainnya.
Beberapa saham ada dalam daftar IDX SMC Composite Indeks antara lain, Semen Indonesia Tbk (SMGR), Indah Kiat Pulp & Paper Tbk (IKNP), Mitra Adi Perkasa Tbk (MAPI), Bank Jago Tbk (JAGA), Jasa Marga Tbk (JSMR).
“Investor bisa mempelajari sektor usaha masing-masing perusahaan dan mencermati berbagai rencana corporate action, dan membaca history serta proyeksi kinerja keuangan masing-masing perusahaan tercatat.
Pada akhirnya, keputusan investasi dan konsekuensinya ada di tangan para investor,” katanya. (swisma)