MEDAN-Muhammad TWH Wartawan Tahun 1950, dirikan Museum Pres di Sumut, yang bermula dari goresan pena tercipta lembaran berita lali dibingkai untuk mempertahankan kisah sejarah dari massa ke massa, dengan balutan Museum Perjuangan Pers Sumatera Utara.
Kini Muhammad Tok Wan Haria (TWH) telah berumur, sudah tak muda lagi, tahun ini saja hidupnya genap 90 tahun di dunia. Walaupun begitu, kenangan menjadi seorang berkecimpung di dunia jurnalistik tak mudah pudar diakalnya.
Sekitar tahun 1950 kisah menjadi pewarta bermula2. Tak puas, beliau berinisatif untuk mengoleksi hasil karyanya dan beberapa foto-foto tokoh maupun surat kabar lainnya. Sampai tak sengaja, tempatnya pun menjadi museum pers yang bisa dikatakan pertama di Indonesia.
Ketika awak media ke tempatnya di Jalan Sei Alas No 6 Babura, Kecamatan Medan Sunggal, Medan tak terkesan seperti museum semestinya. Hanya tampak bertuliskan ‘Museum Perjuangan Pers’ dan beberapa gambar-gambar era lampau dan lukisan menempel di dinding berjejeran semata.
Namun ketika kita mulai masuk ke dalam rumah, lain ceritanya. Seakan-akan pengunjung masuk ke era lampau. Jejeran surat kabar yang masih gaya tulisan tempo dulu melekat di sebuah papan yang cukup panjang. Di dinding ruang utama melekat tokoh perjuangan dan para pejabat terdahulu.
Masuk ke dalam kamar, kita semakin hanyut tentang dunia pewarta. Bagaimana tidak, lukisan para pemimpin media dari tahun 1885 sampai era kemerdekaan tersusun rapi nan indah. Koleksi lainnya seperti koran, buku sampai yang langkah terkait sejarah Sumatera Utara pun ada.
Puas melihat koleksi toko pers ini, sang pemilik yang kursi roda yang ditemani oleh dua cucunya dan Ronny Simon yang menjabat sebagai wakil ketua Museum Perjuangan Pers bercerita.
Muhammad TWH sempat sedikit berkisah semasa hidupnya menjadi pewarta hingga membuat ide mengoleksi karyanya dan berita era dulu kala.
“Sebelum saya menjadi wartawan, awalnya saya suka menulis di berbagai media dan majalah-majalah,”ucap Muhammad TWH Kemarin saat ditemui wartawan dirumahnya yang jadiakan Museum.
Singkatnya, sekitar tahun 1950 Muhammad TWH bekerja di salah satu media cetak di Kota Medan (Mimbar Umum). Saat ia mengisahkan, pahit manis sudah dilaluinya. Dari massa transisi kemerdekaan, pergerakan komunis di tanah air hingga dibawa liputan ke Amerika.
“Saya dulu sering nulis di media cetak tentang perjuangan untuk melawan PKI,”ucap Muhammad TWH.
Selain itu, kisah yang tak dilupakannya melakukan peliputan di negara-negara Asia, Eropa hingga yang masih dikenangnya melakukan peliputan di Amerika yang kala itu diundang oleh Presiden Ronald Reagend (Presiden Amerika ke-40).
“Sudah dua kali saya diundang. Selain itu, saya pernah ke kawasan pemukiman Elvis Presley (penyanyi). Di sana saya kaget ada rumah di kampung ku,”ucapnya.
Ternyata usut punya usut, rumah adat itu dibawa langsung dari Aceh diangkut memakai kapal. Begitu cintanya mereka sama hal yang unik dan berharga di setiap daerah.
Singkat cerita, pada tahun 1970 an Muhammad TWH yang tinggal di Lampung membeli tanah sepetak untuk dibuat rumah.
“Lalu saya gemar untuk mengumpulkan koran, buku, foto tokoh-tokoh pers dan lainnya terkait pada jurnalistik,”ucap Muhammad TWH.
Lamban laun, koleksi yang dimiliki Muhammad semakin banyak. Saking banyaknya, di kamarnya tersimpan barang-barang sejarah terkait pers. Tak lama, orang keturunan Aceh ini pindah ke Medan.
Di tanah Deli ini, pengalaman baru Muhammad TWH dimulai. Katanya, pengalaman yang tak dilupakannya adalah bertemu dengan wartawan Belanda di Medan.
“Saya membawa Orang Belanda itu ke Lubuk Pakam untuk mengetahui kisah PKI tersebut. Tak lupa, ia membawa buku saya sebanyak 10 buku,”ucapnya.
Sebenarnya, total yang telah dituliskan olehnya sampai 27 judul buku. Salah satunya bukunya pernah dibeli oleh mantan Gubernur Sumut Tengku Rizal Nurdin.
Singkatnya pada 2019, koleksi-koleksi Muhammad TWH ini menjadi sebuah museum. Bisa dikatakan, ini pertama sekali museum pers yang ada di Indonesia walaupun terkesan sederhana.
“Ketika itu, ada yang menawarkan orang Solo untuk membeli buku-buku dan lainnya di sini untuk di pindahkan ke Solo. Tapi saya tidak mau, karena ini merupakan sejarah,”sebut Muhammad TWH.
Penolakan itu pun berbuah manis, banyak insan pers sampai para pejabat, dan pemerintah pusat sering mengunjungi rumah yang disulap menjadi musium pers ini.
“Baru-baru ini ada bantuan dari menteri untuk dibuat gazebo di depan rumah ini,”ucap Ronny.
Pada 7 sampai 12 Februari mendatang Kota Medan akan ditunjuk sebagai tuan rumah Hari Pers Nasional (HPN). Tentu ini merupakan sejarah bagi para insan pers yang ada di tempat ini karena dipercaya menjadi tuan rumah.
Sebagai tokoh pers, Muhammad TWH memyabut baik kegiatan tersebut. Ia pun mendoakan agar acara berjalan dengan lancar dan sukses. Ia pun sempat berpesan kepeda awak media terus belajar dan belajar.
“Apalagi belajar bahasa Inggris. Karena kita semakin mudah untuk berkomunikasi dengan warga negara lain, dan banyak informasi yang didapatkan,”ucapnya.
Selain itu, Muhammad TWH berpesan agar insan pers menjunjung tinggi akhlakul karimah (akhlak yang baik dan terpuji) kepada masyarakat.
“Alhamdulillah, saya tidak pernah bermasalah ketika ditugaskan liputan dan kepada narasumber karena menjunjung tinggi sifat tersebut. Dan pers muda saat ini terus bersemangat serta belajar terus,”akhirnya. (esa)