JEDDAH – Dr Aswan Jaya, salah seorang Petugas Haji Daerah (PHD) Sumatera Utara (Sumut), memberi tanggapannya, terkait beredarnya informasi jemaah haji Indonesia terlantar.
Sebelumnya, banyak informasi di tengah-tengah masyarakat bahwa jemaah haji Indonesia terlantar. Mereka kesulitan makan, fasilitas yang minim dan sebagainya. baik dari Arofah, Muzdalifah dan Mina.
Namun, Dr Aswan Jaya, melalui kesaksiannya langsung menjelaskan bahwa saat di Arofah, pelaksanaan ibadah wuquf berlangsung dengan baik.
“Seluruh rangkaian ibadah, mulai dari khutbah Arofah dan wuquf itu sendiri, berlangsung dengan lhitmat dari makhtab masing-masing. Begitu juga terkait makan dan minum, tercukupi dengan baik,” tulisnya dalam pesan elektronik yang diterima redaksi, Jumat (30/6/2023) sore.
Di Muzdalifah, sambung Aswan Jaya, memang penjemputan sedikit tersendat dan menguras energi jemaah, karena situasi panas. Dan terkait makan malam saat di Muzdalifah memang tidak ada.
“Tetapi jemaah sudah makan malam di Arofah. Minuman di Muzdalifah sesungguhnya cukup. Bahkan kalau dilihat, minuman berserakan. Memang tidak ada sarapan pagi, sebab asumsinya sarapan disediakan di Mina. Tetapi disebabkan penjemputan tersendat hingga siang hari, banyak jemaah terutama lansia yang tidak kuat menahan suhu panas, karena harus terus antrian menunggu jemputan yang tersendat,” ungkap Aswan Jaya.
Begitupun, seluruh jemaah terbawa ke Mina walau sampai tengah hari. Masing-masing kloter memiliki tenaga medis untuk terus mengantisipasi jemaah yang kelelahan.
“Beberapa jatuh pingsan, tetapi cepat ditangani. Kalau ada petugas kesehatan yang mengeluhkan soal itu, berarti petugas tersebut tidak bekerja sesuai tugasnya, sebagai tim kesehatan haji Indonesia,” sambung Aswan Jaya.
Aswan Jaya menyayangkan pemberitaan media, bahwa di Mina kapasitas 200 orang diisi 450 orang.
Ia memastikan informasi itu hoax. Sebab setiap kloter jumlahnya hanya 360 jemaah, dan masing-masing kloter mendapatkan 3-4 tenda.
“Jadi tidak mungkin sampai 460 jemaah pertenda, gak masuk akal berita itu,” ungkapnya heran.
Aswan Jaya, yang juga dikenal sebagai salah seorang dosen ini menjelaskan, jemaah yang tidur di luar tenda itu bukan jemaah yang terlantar. Tetapi jemaah itu sendiri yang memilih tidur di luar karena merasa lebih nyaman.
“Memang harus diakui, satu tenda yang diisi oleh puluhan orang, sebanyaknya 65 orang, tentu bagi jemaah yang tak terbiasa hidup berjemaah dan sederhana pastilah akan tidak nyaman menghadapi situasi itu,” lanjutnya.
Menurur Dr Aswan Jaya, dalam Alquran juga sudah dinyatakan, bahwa haji itu ibadah fisik yang membutuhkan kemampuan fisik itu sendiri. Sehingga benar-benar harus istitoah, membutuhkan kesabaran dan keikhlasan.
Ia menyebut memang terjadi berbagai dinamika selama pelaksanaan puncak haji. Namun, dinamika itu masih sangat wajar, dan dapat dimaklumi.
“Di tengah ratusan ribu, bahkan jutaan jemaah haji yang berkumpul dalam waktu yang bersamaan di tempat yang sama, pastilah ada dinamika dan berbagai hal yang mungkin tidak diharapkan. Karena itu, kesabaran dan keikhlasan menjadi kunci mendapatkan haji yang mabrur,” pesan Dr Aswan Jaya, dan berharap seluruh jemaah mendapatkan haji yang Mabrur.
Sebagai evaluasi untuk tahun depan, Aswan Jaya meminta pemerintah harus betul-betul selektif dalam membuat standar istitoah jemaah haji, sesuai dengan perintah Allah dan Rasulullah. (Red)