MEDAN – Aktifitas penambangan bebatuan pasir yang dilakukan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Samosir di kawasan Pantai Siarubung, Desa Turpuk Limbong Kecamatan Harian Kabupaten Samosir, terkait pengembangan lahan kantor desa dan Fishing Camp Wisata Alam Siarubung, terbukti sebagai aktifitas di dalam kawasan hutan lindung.
Hal itu terungkap dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sumatera Utara (Sumut) dengan perwakilan Pemkab Samosir, Dinas Kehutanan Provinsi Sumut (Dishut Provsu), Balai Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Gakkum KLHK) Wilayah Sumatera, Badan Pertanahan Nasional (BPN), sejumlah anggota DPRD Samosir serta Komunitas Masyarakat dan Perantau (KoMPaS) Samosir, di Gedung DPRD Sumut, Jl Imam Bonjol No 5, Medan, Rabu (29/6/2022).
RDP tersebut menindaklanjuti aduan KoMPaS Samosir dan aktifis lingkungan hidup Dr Wilmar Simanjorang terkait pelebaran jalan di Simpang Perbukitan Gotting, Desa Turbuk, Kecamatan Harian, Kabupaten Samosir dan pengerukan bebatuan pasir terkait pembangunan Kantor Desa Turbuk Limbong serta Fishing Camp di Pantai Siarubung.
Gakkum KLHK Wilayah Sumatera, mengatakan sesuai hasil overlay di lapangan, terkait kegiatan penambangan bebatuan pasir di lahan pembangunan Kantor Desa Turpuk Limbok dan Fish Camp di kawasan Pantai Siarubung, berdasarkan aduan Wilmar, ditemukan bahwa titik tersebut berada dalam kawasan hutan lindung.
“Sesuai fakta di atas, kami akan melanjutkan ini dengan rekomendasi untuk melakukan pulbaket,” kata P Ginting dari Gakkum KLHK Wilayah Sumatera.
Sebelumnya dalam RDP, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) KoMPaS Samosir Rokhiman Parhusip, menilai telah terjadi tindak pidana terkait kegiatan pengerukan dan penambangan bebatuan yang dilakukan Pemkab Samosir di dua titik, yakni di dinding kawasan hutan di Simpang Gotting dan kawasan Pantai Siarubung, sejak awal tahun 2022.
“Dari hasil peninjauan KoMPaS di lapangan, kegiatan pengerukan dan penambangan bebatuan di dinding kawasan hutan Simpang Gotting jalan provinsi dan kawasan Pantai Siarubung, adalah tanpa izin dan amdal,” kata Rokhiman Parhusip.
Selain itu, lanjut Rokhiman Parhusip, pengerukan mengakibatkan terjadinya pengrusakan lingkungan, kerusakan dinding penahan tanah di Simpang Gotting. Serta penebangan hutan pinus, baik di kawasan Pantai Siarubung maupun Simpang Gotting.
KoMPaS juga meyakini telah terjadi dugaan korupsi dalam proyek tersebut, karena Pemkab Samosir menggunakan APBD dalam membangun pelebaran jalan provinsi yang bukan wewenang Pemkab Samosir.
RDP gabungan Komisi A, B, D DPRD Sumut yang dipimpin Gusmiyadi SE ini, sempat ricuh dan berlangsung memanas, saat Dr Wilmar Simanjorang, aktifis lingkungan hidup, beradu argumen dengan peserta RDP lainnya.
Wilmar Simanjorang menyebut ia mendukung upaya Pemkab Samosir untuk memanfaatkan sumber daya alam Samosir untuk kemakmuran rakyat.
“Tapi harus sesuai dengan koridor hukum dan kesejahteraan masyarakat luas. Bukan dengan kebijakan tanpa landasan hukum! Dan hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok yang berkuasa!,” kata Wilmar mengawali pendapatnya.
Wilmar mengatakan sudah ada peraturan dan undang-undang yang harus dipedomani dalam pemanfaatan sumber daya seputar kawasan Danau Toba, diantaranya Perpres No 81 tahun 2014 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan dan Sekitarnya.
“Patut dipertanyakan, apakah kegiatan di Simpang Gotting dan Pantai Siarubung sudahkah memenuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku?”, ungkapnya.
Hingga saat ini, tambahnya, tidak ada satupun izin yang bisa ditunjukkan Pemkab Samosir terkait pengembangan lokasi tersebut.
Wilmar juga meragukan alasan Pemkab Samosir bahwa pembangunan di kedua titik itu untuk peningkatan PAD dan destinasi wisata, yang dinilainya terlalu klise, hingga mengendorkan aturan-aturan yang ada.
Pj Sekdakab Samosir, Hotraja Sitanggang dalam jawabannya menjelaskan, pengerukan di Simpang Gotting untuk pembangunan rest area bukan pelebaran jalan provinsi. Pembangunan rest area itu, sebagai bagian upaya Pemkab Samosir dalam mengembangkan destinasi objek wisata di daerah tersebut.
Sementara terkait pengerukan yang terjadi di Simpang Gotting, Dishut Provsu dan Gakkum KLHK, senada memberi jawaban bahwa titik itu berada di luar kawasan hutan lindung.
Dishut Provsu berpendapat, bahwa berdasarkan hasil overlay di lapangan, menurut SK Menteri Kehutanan No 579 tahun 2014, daerah itu berada di luar kawasan hutan lindung.
“Kalau berada di luar kawasan hutan lindung, maka perijinan dari Dishut tidak dibutuhkan,” sebut Donner H Sipahutar dari Dishut Provsu.
Pandangan lebih menohok disampaikan Sekretaris Komisi B DPRD Sumut, juga anggota Fraksi PDIP DPRD Sumut, Drs H Syahrul Ependi Siregar M Ei, yang menyoroti tidak adanya plank di proyek rest area Simpang Gotting, saat Komisi B DPRD Sumut melakukan kunjungan ke lokasi beberapa waktu lalu.
“Saat kita mengunjungi dan meninjau sebuah proyek pembangunan jalan, jembatan dan lainnya, maka seharusnya ada plank yang menjelaskan sumber pembiayaannya. Luasnya jelas, peruntukannya jelas. Tapi pada saat kita turun ke sana, itu tidak ada!,” ungkap Syahrul penuh keheranan.
Yang kedua, lanjutnya, harus ada izin yang jelas terkait penambangan bebatuan di lokasi tersebut.
“Kemudian, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) juga harus proaktif, karena ini kerusakannya (lingkungan, red) sungguh luar biasa. Karena 20-30 tahun ke depan, ini akan menjadi bumerang,” katanya.
Syahrul kemudian menegaskan, sesuai Permen No. 17 Tahun 2012 tentang Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup, masyarakat setempat juga harus dilibatkan dalam penilaian terhadap kerusakan lingkungan hidup.
“Kalau masyarakat setempat justru tidak dilibatkan terkait amdal, maka hal itu patut dipertanyakan.Dan kalau memang izinnya tidak lengkap, saya meminta agar kegiatan itu ditutup saja, demi kemashalatan masa depan anak-anak bangsa!,” tegasnya.
Usai RDP, menjawab pertanyaan wartawan, Ketua DPD KoMPaS Samosir Rokhiman Parhusip, mengatakan ia meminta DPRD Sumut untuk merekomendasikan kepada Gubernur Sumatera Utara (Gubsu) agar menutup kegiatan tersebut, karena merusak lingkungan hidup.
“Dan juga meminta DPRD Sumut untuk merekomendasikan ke penegak hukum agar ditindaklajuti proses hukumnya,” katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi B, yang juga Ketua Fraksi PDI Perjuangan, Mangapul Purba SE, mengatakan Komisi B DPRD Sumut telah menstanvaskan dan menghentikan kegiatan di Simpang Gotting, Desa Turpuk, saat Komisi B melakukan peninjauan pada 10 Juni 2022 lalu.
“Melalui RDP hari ini, kita ingin melakukan klarifikasi dengan semua pihak terkait masalah ini, mulai dari aspek perencanaan hingga analisis dampak lingkungan terhadap kegiatan pengerukan,” kata Mangapul Purba.
Mangapul menegaskan, DPRD Sumut akan merekomendasikan untuk meminta Pemprovsu agar segera menyelesaikan analisis administratif terhadap hal tersebut.
“Dan apabila ditemukan adanya potensi pelanggaran hukum, kita akan merekomendasikan ke penegak hukum untuk diproses, agar tidak berkembang tafsir-tafsir yang akan menjadi bola panas di tengah-tengah masyarakat,” tutupnya
Saat ditanyakan seberapa besar potensi terjadinya pelanggaran hukum, Mangapul menyebut bahwa indikasinya sudah terlihat. (Red)